image : antarafoto.com |
Kata polusi atau pencemaran biasanya identik dengan adanya gangguan terhadap lingkungan yang diakibatkan oleh sampah yang bersifat padat, udara dan cair. Namun ada satu istilah lain yang juga dapat dikategorikan sebagai gangguan terhadap lingkungan yang diakibatkan oleh bertebarannya spanduk, baliho, billboard baik yang bersifat komersial maupun politik sehingga mengganggu pemandangan dan bahkan dapat membahayakan orang disekitarnya. Istilah ini disebut dengan pencemaran visual atau polusi visual.
Fenomena ini terjadi hampir disemua kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dsb. Menurut Yasraf Amir Piliang dari Institut Teknologi Bandung, polusi visual merupakan metafora dari polusi ekologis. Umumnya kita mengenal istilah polusi dalam konteks lingkungan hidup, seperti bagaimana sampah rumah tangga yang di buang ke sungai akan membunuh ekosistem binatang dan tumbuhan yang ada di sungai. Dalam hal ini polusi visual adalah sampah yang di hasilkan dari produk visual seperti sampah billboard, brosur, baliho, poster dan produk visual baru seprti urban screen dan sebagainya. Namun sebagai metafora polusi visual diartikan sebagi sampah estetik yang mempengaruhi pengalaman visual kita secara emosional, yang secara langsung menggangu mata kita menikmati alam semesta ini. Polusi visual adalah sama halnya “sampah mata”.
Tingkat polusi visual yang disebabkan oleh politik papan reklame komersial ini, ditambah dengan reklame politik yang juga kerap dipasang sesuka hati, sudah mencapai taraf yang mengganggu kenyamanan. Selama ini, kita mungkin hanya peduli pada polusi udara karena asap kendaraan bermotor, atau polusi air—sungai, selokan penuh sampah dan buangan kimiawi, tapi kurang peduli pada polusi visual maupun polusi suara.
Sebagian besar reklame politik itu mengganggu mata: bendera partai dijejer di tepi jalan dan di pemisah jalan, sangat tidak enak dilihat, menciptakan ketidaknyamanan. Kota jadi terlihat semakin kotor (bangunan yang tidak teratur, trotoar yang berantakan, kabel-kabel yang bergelantungan, dan sebagainya sudah membikin tidak nyaman). Baliho-baliho sering ditempatkan di posisi strategis, seperti persimpangan jalan. Pemandangan ke depan yang mestinya bisa lepas menjadi terhalang, karena itu reklame politik itu berpotensi membahayakan keselamatan pengendara.
Kota-kota di Indonesia seringkali belum memperhatikan pentingnya penciptaan citra visual yang baik. Papan-papan reklame bermunculan tanpa adanya aturan yang jelas, baik dari segi desain, dimensi, maupun peletakannya. Kondisi ini seringkali menyebabkan terjadinya polusi visual di lingkungan perkotaan. Wajah kota menjadi kacau dan tidak mampu menunjukkan jati diri yang sesungguhnya. Tampilan bangunan, furnitur jalan, dan media informasi hadir tanpa adanya arahan rancangan (design guidelines) yang jelas, dan yang terjadi tentu saja kualitas kota yang buruk.
Hal-hal yang menyebabkan terjadinya polusi visual :
- Lemahnya kebijakan publik yang berpihak pada estetika ruang dan kenyamanan warga di ruang publik.
- Belum adanya sanksi yang tegas terhadap semua pelanggaran yang menyangkut reklame baik komersial maupun politik.
- Sikap permisif dari masyarakat yang menganggap bertebarannya reklame baik komersial maupun politik adalah hal yang lumrah.
- Tidak adanya aturan mengenai tata ruang yang ideal yang menciptakan harmonisasi antara pembangunan dan ekosistem.
sumber :
No comments:
Post a Comment