Print Friendly and PDF

Kesalahan Dalam Penerapan UMK/UMP

image : rri.co.id
Gojang ganjing penetapan upah minimum baik kota maupun provinsi sudah tak asing lagi di negara kita. UMK yang dahulu dikenal dengan UMR (Upah Minimum Regional) adalah Upah Minimum Regional adalah suatu standar minimum yang digunakan oleh para pengusaha atau pelaku industri untuk memberikan upah kepada pegawai, karyawan atau buruh di dalam lingkungan usaha atau kerjanya. Pemerintah mengatur pengupahan melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 05/Men/1989 tanggal 29 Mei 1989 tentang Upah Minimum.

Sesuai namanya UMK/UMP adalah standar upah minimum yang diberikan olah pengusaha kepada buruh atau pegawainya, hal ini berarti besaran yang ditetapkan adalah besaran terkecil yang diberikan berdasarkan perhitungan dan survey biaya hidup buruh atau pegawai.

UMK/UMP sebagai standar minimum upah yang diberikan bagi pegawai atau buruh dengan ketentuan yaitu buruh dengan status lajang dan masa kerja 0 – 1 tahun sebagai contoh buruh A seorang lajang dan masa kerjanya belum mencapai 1 tahun maka dia mendapatkan upah sebesar UMK/UMP yang ditetapkan didaerah yang bersangkutan misalnya Rp. 1.939.400,- tetapi dalam prosesnya sebagian besar pengusaha atau perusahaan menerapkan UMK/UMP secara sama rata artinya buruh yang memiliki masa kerja 0-1 tahun menerima upah sama dengan buruh yang telah memiliki masa kerja 5 tahun, itulah kesalahan mengartikan atau menjabarkan pengertian UMK/UMP baik oleh buruh maupun oleh pengusaha.

Kesalahan dalam menerjemahkan pengertian UMK/UMP ini berakibat sangat besar bagi kedua belah pihak baik pengusaha maupun buruh, maka wajar apabila dalam penetapannya selalu diwarnai dengan perdebatan yang panas dan alot.

Sebenarnya besaran UMK/UMP ini tidaklah perlu untuk ditetapkan setiap tahun namun perlu dievaluasi secara sistematis melibatkan pihak-pihak yang terkait, mengapa demikian ?

Alasannya adalah besaran UMK/UMP yang ditetapkan seperti telah saya paparkan diatas adalah besaran upah bagi buruh lajang dengan masa kerja 0-1 tahun, namun karena terjadinya kesalahan dalam memahaminya banyak perusahaan yang menerapkannya secara sama rata, maka rasanya cukup adil apabila antara buruh yang masa kerjanya baru dengan yang masa kerjanya sudah lama memiliki perbedaan besaran upahnya, nah besaran perbedaan inilah sebenarnya yang harus ditetapkan besarannya serta dibuatkan regulasi oleh pemerintah dan wajib diperjuangkan oleh buruh.

Sebagai ilustrasi : 
  • Buruh A seorang lajang dengan masa kerja 0-1 tahun upahnya sesuai UMK/UMP = Rp. 1.939.400,- 
  • Sedang buruh B dengan masa kerja 2 tahun upahnya adalah UMK/UMP + besaran pembeda mis. Rp. 100.000.- sehingga buruh B menerima upah sebesar Rp. 2.039.400,-  
  • Dilain pihak buruh C dengan masa kerja 3 tahun maka dia menerima UMK/UMP + besaran pembeda yaitu Rp. 200.000,- (100.000 x 2 tahun) sehingga di menerima 2.139.400.- dan demikian seterusnya.
Dari ilustrasi diatas besaran pembeda yaitu Rp. 100.000,- untuk setiap tahun,  perbedaan ini perlu dibuatkan regulasi yang jelas baik aturan maupun besarannya sebagai panduan bagi pengusaha dalam menetapkan sistem pengupahannya. 

Selain perbedaan jumlah masa kerja yang dijadikan acuan sebagai pembeda besaran upah, tetapi perusahaan juga harus mempertimbangkan faktor lain misalkan :
  1. Beban dan tanggung jawab buruh atas bidang kerjanya
  2. Tinggi rendahnya resiko kerja
  3. Faktor skill atau keahlian yang diperlukan dari seorang buruh
Apabila semuanya dapat dilaksanakan saya kira cukup adil dan dapat diterima semua pihak baik buruh maupun pengusaha.

No comments: